ALAT MUSIK ETNIK KABUPATEN ACEH TENGGARA
Kutacane merupakan ibukota Kabupaten Aceh tenggara,
Provinsi Aceh, Indonesia.
Kutacane juga merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser dari
wilayah Aceh
yang dapat ditempuh melalui jalur darat lebih kurang 6-8 jam melalui Kabupaten Karo dari Medan, Sumatera Utara dan
memakan waktu sekitar 12 jam dari Banda
Aceh. Secara administratif, Kutacane masuk ke dalam kecamatan Babussalam. [1] Kutacane sendiri diambil dari dua suku kata, yakni Kuta dan Cane yang
mana Kuta dalam bahasa Alas artinya adalah kota dan
kata Cane
diambil dari bahasa Inggris di mana dalam bahasa Inggris Cane artinya rotan atau
tempat pemukulan. Hal ini dikarenakan sejak dahulu daerah Kutacane dan
sekitarnya adalah penghasil rotan yang
berkualitas, hal ini terbukti dari fakta sejak kota ini didirikan dan didorong
dengan daerah yang terpencil pemerintahan Hindia Belanda membuat Kutacane sebagai
tempat tahanan atau semacam penjara bagi pemberontak dan lawan politik yang
tidak menyukai Belanda tetap bercokol di daerah Aceh, dan kebanyakan dari
mereka banyak yang di siksa oleh tentara Belanda.
Beranjak
dari pembahasan sejarah singkat tentang Kutacane, Seperti halnya Kabupaten Gayo
Lues maupun kabupaten lainnya, Kabupaten Kutacane juga memiliki beberapa alat
musik etnik/instrumen tradisional yang menjadi andalannya. Alat musik
etnik/instrumen tradisional tersebut diantaranya adalah Bangsi, Canang Kecapi
Buluh, Canang Situ, Canang Ayan, dan
Olo-oloi. Beberapa jenis instrumen tradisional tersebut dijelaskan oleh seorang
seniman musik tradisional bernama Muhammad Arsyad yang berusia sekitar 60 tahun
dan tinggal di desa Sepakat Segenep, Jalan Blangkejeren KM 10, Kecamatan
Kutacane, Kabupaten Kutacane.[2] Beberapa instrumen tradisional tersebut lebih rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a.
Bangsi
Bangsi
adalah jenis alat musik/Instrumen tiup yang terbuat dari bambu tradisional yang
tumbuh dan berkembang di daerah Lembah Alas, tepatnya di Kabupaten Aceh
Tenggara. Kata Bangsi sendiri hingga kini entah
dari mana nama itu berasal. Alat musik instrumen tradisional ini memiliki
bentuk seperti seruling yang terbuat dari bambu. Bentuknya Pendek dan memiliki
7 lubang dan dibagian atas bangsi yang setiap lubangnya semakin ke ujung akan
semakin lebar dan dari 7 buah lubang memiliki fungsinya tersendiri yang terbagi
dalam enam buah lubang nada, dan satu buah lubang udara yang letaknya dekat
dengan tempat yang ditiup. Bangsi sendiri lebih kurang memiliki panjang 41 cm
dan berdiameter 2,8 cm. Bangsi memiliki berat sekitar 200gr-250gr. Lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di
bawah ini.
Gambar instrumen tradisional Kutacane bernama Bangsi
Bangsi dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional
ataupun dalam komposisi musik tradisi. Pada mula perkembangannya, fungsi bangsi
memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen musik dibunyikan/didengarkan untuk
melalaikan hati pemainnya dan kini berkembang menjadi instrumen
primer(instrumen utama).
Sejarah bangsi sendiri konon ceritanya sampai saat ini tidak
diketahui asal muasal sejarahnya. menurut Muhammad
Arsyad, bahwa tidak adanya data yang tertulis
mengenai sejarah keberadaannya. Cara menyetem
bangsi itu sendiri adalah dengan cara mengatur jarak lubang yang satu dengan
lubang yang lainnya. Sebenarnya cara menyetem bangsi hampir sama dengan
menyetem seruling pada umumnya.
Sementara untuk memainkan alat
musik tradisional ini caranya yaitu bangsi ditutup dengan ujung jari tangan,
sedangkan pada bagian ujung yang satu lagi ditutup dengan gabus, kemudian daun
pandan membalut tempat (bagian) yang tertiup gabus dengan memberi sedikit
berlebih (melewati bambu), dan dari sinilah nantinya pemain bangsi melekatkan
kedua bibirnya untuk meniup. Dari lubang udara sampai ke ujung yang terbungkus
daun daun pandan diberikan sedikit alur tempat keluarnya udara. Proses pembuatan bangsi sendiri masih
menggunakan teknik tradisional yang biasanya dibuat saat pemain bangsi
membutuhkannya saja. Jadi alat musik instrumen ini tidask diproduksi dalam
skala besar. Banggsi sering ada dalam berbagai
pertunjukan tradisional, pertunjukan musik, acara adat yang menggunakan musik,
bahkan pertunjukan musik yang memadukan instrumen tradisional. Bangsi juga digunakan untuk mengiringi
kesenian tari tradisional. Selain
itu, bangsi biasanya dimainkan oleh kebanyakan laki-laki baik secara individu
ataupun berkelompok dan tidak mengharuskannya pada usia tertentu. Bunyi
yang dimainkan biasanya lebih kepada Tangis
Dillo.[3]
b.
Canang
· Canang Kecapi Buluh
Canang kecapi buluh adalah jenis instrumen
tradisional yang terbuat dari buluh khegen (bambu). Instrument ini merupakan
alat musik yang terdiri dari satu ruas bambu. Selain itu, alat musik instrumen tradisional ini memiliki bentuk
seperti tabung yang terbuat dari bambu. Bentuknya Pendek dan memiliki tali/senarnya
sebanyak 5 buah yang terbuat dari kulit bambu itu sendiri. Setiap tali/senarnya
dapat diatur suaranya. Canang kecapi buluh yang
berada di Kutacane sendiri memiliki panjang 60-70cm dan berdiameter 4-6 cm.
Canang ini memiliki berat sekitar 750gr-1000gr.
Gambar instrumen tradisional Canang Kecapi Buluh-Kutacane
Canang kecapi buluh dimainkan dengan cara dipukul menggunakan
stick/kayu pemukul. Dalam fungsinya,
canang kecapi buluh biasanya hanya menjadi instrumen pelengkap. Pada
awal perkembangannya, fungsi canang kecapi buluh memiliki fungsi sekunder yaitu
instrumen pendukung dan kini berkembang menjadi instrumen primer(instrumen
utama). Sejarah canang kecapi buluh sendiri konon ceritanya dimainkan oleh
anak-anak gadis di saat mereka\ mulai merasa jenuh dalam menenun kain kerajinan
tradisional yang ada di daerah alas. Untuk menghilangkan kejenuhan saat
menenun, mereka akan bersama-sama memainkan alat musik tradisional ini dan
menyanyi bersama untuk menghibur diri.[4]
Cara menyetem alat musik
tradisional ini adalah dengan cara mengendorkan atau meregangkan tali/senarnya
menggunakan potongan kayu sebagai penyangga/bridge pada tiap tali/senarnya. Pada
proses pembuatan instrumen tradisional yang ada di Kutacane ini sendiri masih
menggunakan tekhnik tradisional dan dibuat hanya pada saat akan digunakan baik
pada acara adat maupun acara resmi lainnya. Canang Kecapi buluh dapat kita
jumpai dalam berbagai pertunjukan tradisional,
festival musik, acara adat yang menggunakan musik, bahkan pertunjukan musik
yang memadukan instrumen
tradisional dan modern. Selain itu, Canang Kecapi buluh
dapat dimainkan baik secara individu maupun berkelompok oleh kaum perempuan dan
tidak mengharuskannya pada usia tertentu. Namun, pada saat ini Canang kecapi
buluh dapat juga dimainkan oleh kaum pria dari berbagai usia khususnya pada
suku alas.
· Canang Situ
Sama
seperti halnya dengan Canang kecapi buluh, Canang situ merupakan alat
musik/instrumen tradisional yang cara memainkannya menggukan stick/pemukul yang
pukulkan pada sisi-sisi bulat yang menonjol pada permukaan canang situ itu
sendiri. Canang ini terbuat dari bahan utama tembaga yang kokoh berwarna kuning
emas dan jumlahnya dua/sepasang. Bentuknya bulat hampir seperti gong pada
umumnya yang membedakan hanyalah ukuran dan tingginya. Canang situ yang ada di
daerah Kutacane sendiri lebarnya berukuran 30-40cm dan memiliki tinggi 10-13cm.
Masing-masing bulatan tengah yang menonjol berukuran 5-7cm. Berat alat musik instrument ini sekitar
500gr-1000gr. Berikut gambar instrumen tradisional Canang Situ.
Gambar Canang Situ- Kabupaten Aceh
Tenggara,Kutacane.
Canang ini biasa dimainkan dengan cara dipukul menggunakan
stick/kayu pemukul. Dalam fungsinya,
canang ini mulanya hanya menjadi instrumen pelengkap. Sejarah canang
situ sendiri konon ceritanya hanya dimainkan oleh anak-anak gadis di saat malam berinai pada pesta penikahan di kampung
mereka. Cara menyetem alat musik tradisional ini kini dapat dilakukan
menggunakan alat yang bernama Tuner. Hal
ini dikarenakan canang modern memiliki tujuh nada seperti alat musik modern
pada umumnya, sementara canang yang dijumpai di daerah Kutacane memiliki lima
nada lagu tradisional. Pada proses pembuatan instrumen tradisional bernama
Canang situ sama seperti proses pembuatan alat musik gong pada umumnya. Pada
masa sekarang, Canang Situ dapat kita
jumpai dalam berbagai pertunjukan
tradisional, pesta perniakahan, festival musik, serta acara adat yang
menggunakan musik tradisional. Selain itu, Canang situ dimainkan oleh kaum
wanita atau gadis remaja saat malam berinai pada suku Alas yang ada di
kabupaten Kutacane,Aceh Tenggara.
· Canang Ayan
Canang
ayan merupakan alat musik/instrumen tradisional yang cara memainkannya sama
seperti menggukan stick/pemukul yang pukulkan pada permukaannya. Canang ayan
kini sudah sulit dijumpai, khususnya di daerah Kutacane. Canang jenis ini terbuat
dari bahan utama kaleng Dencis/Sardeincis berbagai merk dan ukuran. Bentuknya seperti
kaleng pada umumnya. Canang ayan yang ada di daerah Kutacane sendiri ukurannya
bervariasi menyesuaikan jenis dan nada yang diinginkan oleh pemainnya. Dalam fungsinya, canang ini
hanya menjadi instrumen pelengkap yang biasa digunakan untuk menggenapi
nada pada canang lainnya saat dimainkan. Sejarah canang ayan sendiri konon ceritanya
hanya dimainkan oleh anak-anak gadis di saat
malam berinai pada pesta penikahan di kampung mereka. Cara menyetem alat
musik tradisional ini hingga kini tidak dapat diketahui pastinya.. Hal ini dikarenakan canang ayan tidak memiliki
nada yang jelas/pasti seperti canang situ. Pada proses pembuatan instrumen
tradisional bernama Canang ayan ini begitu sederhana. Karena hanya menggunakan
limbah kaleng sardeincis/sarden yang dilubangi pada tutupnya. Pada masa sekarang, Canang jenis ini sudah jarang kita jumpai
pada suku Alas. Hal ini dikarenakan sudah tidak diproduksinya canang yang bahan
utamanya terbuat dari lembah kaleng sardencis. Sama halnya dengan canang situ, Canang
ini mulanya hanya dimainkan oleh kaum wanita atau gadis remaja saat malam
berinai pada suku Alas yang ada di kabupaten Kutacane, Aceh Tenggara. Namun karena
canang jenis ini sudah sulit dijumpai di masa sekarang, jadi peneliti tidak
mendapatkan gambar atau melihat bentuk asli dari canang ayan di daerah
Kutacane.
c.
Olo-oloi
Olo-oloi merupakan alat musik tiup tradisional
yang terbuat dari daun/pelepah kelapa baik yang masih muda (janur) ataupun yang
sudah tua berwarna hijau pekat. Konon ceritanya, instrumen ini dibuat oleh kaum
petani di zaman dahulu saat mereka menjaga padi yang hampir masak dari
serangang burung-burung kecil di sawah.
Saat jenuh mengusir burung-burung kecil memakan padi para petani, saat itulah
para petani membuat alat musik ini dan memainkannya sebagai teman penghibur
dikala bosan menanti masa padi siap untuk dipanen. Berikut gambar alat musik
tradisional Olo-oloi yang ada di daerah Kutacane.
Gambar instrumen tradisional
Olo-oloi-Kutacane
Selain itu,
Olo-oloi yang merupakan instrumen
tradisional khas Kutacane sendiri panjangnya bisa mencapai 50cm, hal ini
tentunya menyesuaikan jenis dan nada yang diinginkan oleh pemainnya. Semakin
panjang dan besar bentuknya, nada yang dihasilkan akan semakin nyaring dan
merdu saat dimainkan. Sementara itu, Dalam fungsinya,
instrumen ini dulunya hanya
digunakan oleh para petani untuk menghibur diri dikala menanti masa panen
padinya. Tidak ada cara yang pasti
digunakan untuk menyetem alat musik tradisional ini, hal ini dikarenakan karena
alat musik instrumen tradisional ini tidak memiliki nada yang sama seperti
halnya alat musik tiup lainnya yang sering dijumpai di daerah lain.
Proses
pembuatan instrumen bernama Olo-oloi ini begitu sederhana. Karena hanya
menggunakan pelepah daun kelapa yang digulung menyerupai terompet atau alat
musik tiup pada umumnya. Pada bagian pangkalnya (tempat untuk
meniup/memainkannya) terbuat dari daun
pelepah kelapa yang dipotong berukuran panjang 3-4cm dan lebarnya sekitar 1-2cm
serta terdiri dari 2 bagian yakni atas dan bawah (sepasang) yang disatukan dan
diberi sedikit ruang udara. Hal ini dikarenakan bahwa saat alat musik ini
dimainkan dengan cara ditiup dapat menghasilkan nada yang berirama. Pada masa
sekarang, alat musik tradional ini sudah
jarang kita jumpai di daerah Kutacane. Hal ini disebabkan karena penggunaan
alat musik tiup ini sudah tidak pernah dimainkan lagi oleh para pemusik
etnik/tradisional yang ada di kabupaten Kutacane terutama oleh kaum remaja yang
seharusnya menjadi pelestari alat musik tradisional yang hampir punah ini.[5]
Demikianlah deskripsi
beberapa alat musik/instrumen tradisional khas yang ada di Kabupaten Aceh
Tenggara. Masing-masing dari semua yang terjabar di atas ditulis oleh penulis
berdasarkan hasil penelitiannya beberapa waktu yang lalu dan diperoleh dari sumber/informan/seniman
yang membidangi/ahli di bidang musik etnik/tradisional yang ada di kabupaten
kota Kutacane.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kutacane_(kota) diakses pada 20 Oktober 2018
pukul 14.30
[2] wawancara
dengan bapak Muhammad Arsyad pada tanggal
2 Oktober 2018
[3] wawancara
dengan bapak Muhammad Arsyad pada tanggal
2 Oktober 2018
[4] wawancara
dengan bapak Muhammad Arsyad pada tanggal
2 Oktober 2018
[5] wawancara
dengan bapak Muhammad Arsyad pada tanggal
2 Oktober 2018
1 komentar:
Write komentarSitus Web Nonton Film Movie Streaming Online Box Office Gratis Kutacane, Aceh Tenggara kunjungi web kita ya bg.
Replyhttps://xxiku.com
https://filmhd21.com
https://adlk.us
https://terbitfilm.com
Terima kasih, Salam negeri tanoh alas
Sepakat Segenap
EmoticonEmoticon